Jumat, 28 September 2012

Wajah Kota Palu Dulu dan Sekarang


KOTA PALU MEMBENAH DIRI DI USIA 34 TAHUN

Pada tanggal 27 kemarin, Kota Palu sudah memasuki usianya yang ke 34 tahun, Pemerintah Kota Palu merayakan HUT Kota Palu dengan melaksanakan upacara perayaan, yang didominasi oleh pertunjukan tarian adat, suku kaili. pelaksanaan upacara HUT Kota itu, juga dirangkaikatan dengan pembukaan Festival Teluk Palu (FTP). Pemerintah Kota Palu, saat ini sedang melakukan berbagai upaya untuk membenahi dirinya, termasuk saat diusia yang ke 34 tahun, pembenahan tersebut tertuang dalam program visi misi Kota Palu menuju tahun 2015, akhir dari masa jabatan kepemimpinan Wlikota Palu, Rusdi Mastura dan Waki Walikota Palu, H. Andi Mulhanan Tombolotutu.
Apakah yang sudah dilakukan dan yang belum dilakukan duet kepemimpinan mereka ?


Jumat, 07 September 2012

KISAH ANI PIJA : Korban Gempa Terjepit Hingga Pagi


 
Sungguh memilukan nasib janda tua, bernama Ani Pija (52) itu, warga Desa Tuva Kecamatan Gubasa Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, sejak ditinggal suaminya dia hidup bersama enam orang anaknya disebuah gubuk tua. 10 tahun lebih dia menghidupi ke enam anaknya, hanya mengandalkan uluran tangan tetangganya, melalui pekerjaan sebagai buru tani, yang dihargai dalam seharinya sebesar Rp15 ribu.
Ani Pija, yang biasanya tidak pernah terlihat murung dan berputus asa, saat ini sering termenung dan berdiam diri, saat senja akan tenggelam. Dibalik tenda pengungsian di depan gubuk tuanya, Ani berpasrah diri pada Tuhan, karena gubuk tuanya, kini tinggal diganjal dengan sebuah balok. Sejak terjadinya gempa pada sabtu (18/8) pekan kemarin.  
Sebulan lebih pasca gempa yang berkekuatan 6,2 SR, menerpa Desa Kelahirannya dan menghancurkan sekitar ribuan rumah dari tiga Kecamatan Kabupaten Sigi. Kondisi Ani bagaikan terjepit dalam reruntuhan banguan, karena situasi mencekam tetap terlihat pada benaknya saat menjelang malam, dia masih terbayang dengan kejadia tersebut. “Saya takut pak, bagaimana kalau gempa itu terjadi lagi, pasti rumah saya akan rubuh, karena hanya inilah satu-satunya warisan peninggalan suami saya,” kata dia sambil meneteskan air mata.
Sementara sejak kejadian bencana gempa itu, Ani Pija mengaku tidak berani meminta bantuan sosial yang bertumpuk di posko penanggulangan bencana, karena dia juga tidak mau tersinggung, sebab selama ini pendistribusia bantuan itu, tidak merata bahkan ada yang saling mencurigai. Dia rela bernaung di tenda milik pribadinya sendiri, yang sudah pada bocor dan tidak layak lagi untuk bernaung. Sementara warga lainnya yang tidak terlalu parah kondisi rumahnya, mendapatkan bantua tenda dan peralatan lainnya dan masih tergolong mampu.
“Alhamdulillah saya masih punya tenda ini, walaupun kalau ada hujan dipastikan akan basah,” kata dia lagi.
Ani Pija bersama salah seorang anaknya dan menantunya, serta ditemani cucu tercintanya, tetap bertahan di tenda tua, dan makan apa adanya tanpa lauk pauk yang layak. Baginya kondisi itu, hal yang biasa dihadapainya, sebelum gempa itu terjadi. “Saya sudah biasa makan apa adanya,” jelasnya.
Demikian sekilas sejarah korban gempa Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Ironisnya, bantuan tertumpuk ditenda posko, salah seorang petugas posko mengatakan, bantuan itu tidak akan dibagikan, jika tidak ada permintaan dari pihak terkait, yang dikoordinir Kepala Desanya.   

KONDISI KORBAN PASCA BENCANA GEMPA SIGI


Tentunya belum hilang dari ingatan kita, kejadian sehari sebelum Idul Fitri 1433 Hijriah, tepatnya pada, sabtu (18/8) pekan lalu, Kota Palu dan sekitarnya, dikejutkan dengan bencana gempa yang berkekuatan, 6,2 SR berpusat di Danau Lindu Kabupaten Sigi. Sebanyak 4.757 jiwa, dan lima diantaranya meninggal dunia, warga dari tiga Kecamatan yakni, Kecamatan Gumbasa, Kulawi dan Lindu, Kabupaten Sigi menjadi korban bencana gempa tersebut. Sejak kejadian itu, banyak masyarakat ikut berpartisipasi, menyalurkan bantuan untuk meringankan beban masyarakat setempat, sama halnya dengan beberapa langkah pemerintah Propinsi Sulawesi Tengah dan Kabupaten Sigi sendiri, serta Pemerintah Kota Palu yang turut membantu, duka mendalam yang dialami warga Sigi.
Bantuan demi bantuan, silih berganti berdatangan, dengan berbagai jenis barang dan peralatan yang harus disiapkan, untuk warga di tiga Kecamatan yang menjadi korban keganasan alam. Ironisnya bukan hanya bantuan barang yang datang di daerah itu, akan tetapi sepertinya sudah menjadi kebiasaan warga sekitar Kabupaten Sigi dan sekitarnya, menjadikan daerah bencana sebagai pusat rekreasi keluarga, bagaikan taman hiburan, yang kemudian menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka, untuk menjadi bahan pembicaraan pada warga sekitarnya.
Satu bulan lebih sudah, bencana gempa Kabupaten Sigi, sampai saat ini penanganan korban pasca bencana tersebut, masih terus dilakukan. Bantuan sosial pun tetap berdatangan, untuk membantu warga di tiga Kecamatan menjadi korban. Demikian dikatakan, Irwanto salah satu anggota Posko Induk bantuan korba bencana Kabupaten Sigi, jumat (6/9) di Desa Tuva Kecamatan Gumbasa.
Menurut dia, dalam penanganan korban bencana gempa tersebut, pihaknya bersama tim relawan lainnya, banyak mengalami rintagan dan tantangan, yang berkaitan dengan kesiapan barang, jalur ditempu saat pendistribusian bantuan, dan beberapa tantangan lainnya, seperti yang dialaminya beberapa minggu yang lalu, saat dirinya dikritik warga Desa Tuva, soal pendistribusian bantuan ke Desa lainnya. “Saya dan teman-teman lainnya, pernah didatangi sejumlah warga, mereka mempertanyakan pendistribusian bantuan itu ke Desa lain,” kata dia.
Dia juga menjelaskan, kalau warga Desa Tuva Kecamatan Gumbasa, berpendapat bahwa bantaun yang berada di posko induk itu, adalah bantaun yang diperuntukan bagi mereka semua, pada hal posko induk itu didirikan, saat sebelum ada jalan tembusan, ke Desa lainnya. Akan tetapi saat ini masyarakat, sudah mengerti dan memahami bawha posko yang didirikan di desa mereka adalah posko induk untu penampungan barang bantuan bagi warga lain selain mereka.
saat ini baru saja melakukan, pendistribusian tiga jenis bantuan ke Kecamatan Lindu yaitu beras tiga ton, tikar plastik sebanyak 29 lembar, dan 10 buah tenda pengungsian. Namun  Pendsitribusian bantuan ke Kecamatan Lindu, sudah menghabiskan biaya yang tidak sedikit, karena barang bantuan itu didistribusikan melalui jasa tukang ojek setempat, dengan biaya sebanyak Rp75 ribu hingga Rp150 ribu dalam satu kali antara, ungkapnya. “Lebih banyak biaya pendistribusiannya, dari pada nilai barang yang akan dibantukan,” jelasnya.
Dia juga menambahkan, bantuan yang datang dari para donatur baik pemerintah, maupun swasta didominasi barang mie instan, sementara warga setempat, memerlukan bantaun seperti beras, minyak goreng, minyak tanah, dan tenda pengungsian serta yang lebih dibutuhkan dan tidak ada stoknya adalah susu ibu hamil dan susu bayi.
Hal itu dibenarkan, Kepala Puskesmas Kecamatan Kulawi, Yosephin Paelong. Sejak bencana gempa melanda tiga Kecamatan tersebut, yang hampur tidak ada jenis bantuannya adalah susu ibu hamil dan bayi, karena sebanyak 49 orang ibu hamil yang menjadi korban bencana gempa itu, khusus dilima Desa yaitu Desa Namo sebanyak 8 orang, Desa Boladangko 6 orang, Desa Bolapapu 8 orang, Desa Tangkulowi 10 orang dan Desa Salua 17 orang. “Diantaranya ada yang melahirkan di tenda pengunsian,” sebutnya.
Dia juga menjelaskan, kalau selama ini pihaknya, pernah dimintai data-data dari Dinas Kesehatan Propinsi Sulteng, dan juga dari pihak Kabupaten Sigi, akan tetapi sampai saat ini bantuan berupa susu ibu hamil dan bayi tersebut, belum juga datang. Sementara kondisi ibu hamil dan bahkan ada yang melahirkan tersebut, sungguh memprihatinkan, karena mereka hanya makan, seadanya dari bantuan mie instan.
Sementara seharusnya yang idelanya, ibu hamil setelah melahirkan, harus lebih banyak menyerap makanan yang bergizi, agar kekuatannya setelah melahirkan kembali normal seperti biasanya, dan sama halnya dengan bayi mereka. Kondisi kesehatan bayi akan terganggu, jika makanan yang diserap tubuh ibunya, tidak mengandung gizi yang lebih, sehingga akan berpengaruh pada tingkat pertumbuhan bayi, dan bagi kesehatannya, ungkapnya.
Dia hanya mengharapkan, agar bantun bagi ibu hamil seperti susu dan makanan lainnya, dapat segera didistribusikan untuk memenuhi, tingkat keselamatan ibu dan hamil kedepan. Agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, seperti perkembangan penyakit dan kematian.
Penyerahan Diri Warga Tuva
Warga Desa Tuva Kecamatan Gumbasa, saat ini banyak yang berserah diri pada, kekuasaan Tuhan YME, terkait dengan kondisi alam tempat mereka berpijak, yang kini masih sering mengalami guncangan gempa yang dimaksud. Tetapi tidak bagi sekelompok masyarakat Desa Tuva lainnya, yang berjumlah kurang lebih 20 KK mengungsikan diri mereka, ke lereng hingga puncang gunung Lalere yang berjak sekitar satu kilo meter lebih, dari Desa tersebut. Mereka mengungsikan diri sejak beredarkanya isu bahwa pada tanggal 16 nantinya pada bulan ini, akan terjadi lagi gempa yang lebih besar dan berkekuatan lebih dari sebelumnya.
Asri Mustakim (50) warga DesaTuva, yang baru turun dari lereng gurung Lalere, untuk meminta persiapan bantuan, mengatakan. Dirinya dan keluarganya, terpaksa harus mengungsi gunung, karena takut dengan ancaman bencana susulan seperti yang didengar dari orang-orang. “Saya dan keluarga sudah dua minggu mengungsikan diri ke puncak gunung Lalere,” kata dia.
Lain lagi dengan Hatija Calikoro (28) ibu dua anak, juga warga Desa Tuva, yang memilih tetap bertahan di Desa itu. Menurut dia, dengan bertahan di Desa lebih mudah mendapatkan bantuan penyelamatan, jika benar-benar terjadi bencana susulan seperti yang diisukan. “Kalau saya tidak masalah, tapi ibu saya kasian dia sudah tua, bagaimana kalau memang benar terjadi,” kata dia dengan nada sedih.
Nama ibu kandung dari Hatija Calikoro, Indo Tiha (68) hingga kini masih mengalami trauma, karena setiap mendengarkan isu gempa dan banjir dirinya gemetar dan ketakutan. Indo Tiha, kelahiran Kelurahan Duyu itu, enggan meninggalkan desa yang sudah menghidupinya selama 50 tahun.
Lain lagi dengan Ali Guva (38), juga warga Tuva, dia memanfaatkan situasi itu dengan berprofesi sebagai tukang ojek, dia mengaku setiap pendistribusian bantuan ke Kecamatan Lindu, dirinya mendapatkan keuntungan sebanyak Rp200 hingga Rp350 ribu. Bukan hanya sekedar mengantar bantuan, akan tetapi dirinya juga membeli ikan mujair dari danau lindu, untuk dijual di masyarakat berada di lemba Palu. “Saya kalau sudah turun, saya uang dari ojek, saya belikan ikan mujair, lumayan harganya disana, hanya tiga sampai empat ribu per enam ekornya,” katanya.
Dia juga mengaku, tidak layak mengambil ke untungan dalam situasi seperti itu, akan tetapi baginya, membawa bantuan dengan muatan lebih dari kapasitanya, dengan resiko tinggi, karena menempu jalur yang masih sangat rawan dengan kecelakaan, merupakan hal yang wajar-wajar saja.
Demikian reportase ini, yang menggambarkan kondisi terakhir, pasca gempa Kabupaten Sigi selama ini, warga ditiga Kecamatan, masih terus membutuhkan uluran tangan masyarakat dan khususnya pemerintah. Saat ini Sulteng harus bercermin dari bencana yang melanda daerahnya, karena satu bulan terakhir bencana silih berganti, yang terakhir bencana itu terjadi di Kabupaten Parigimautong, yang memutuskan jembatan didaerah itu dan Kota Palu yang juga menghanyutkan ratusan rumah. Ancaman akan bencana alam di Sulawesi Tengah, seakan menyampaikan pesan penting bagi masyarakat, utamanya bagi pemerintah di daerah ini, untuk selalu mengigatkan warganya selalu meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan mereka.
Dengan mempersiapkan seluruh elemen terkait harus lebih intensif lagi melakukan sosialisasi dan pengenalan kepada masyarakat agar bisa menekan korban dalam setiap kali terjadinya bencana di Sulteng ini. Sebab soal bencana adalah tanggung jawab bersama instansi pemerintah yang ada baik daerah Kabupaten/Kota maupun Propinsi sendiri, lebih lagi yang berkaitan dengan kebencanaan seperti BPBD, Bakornas, Satganas dan beberapa lembaga resmi lainnya.

Rabu, 25 Juli 2012

KOMUDITI KAKAO TINGGAL KENANGAN


Visi Pembangunan Pemerintah Kota Palu Yang Terabaikan

Visi dan Misi Pemerintah Kota Palu, yang akan menjadikan Kota Palu sebagai Kota Pusat Perdagangan Kakao, yang akan dicapai secara sempurna pada tahun 2025 mendatang, hal itu berdasarkan rencana program jangka panjang (RPJP) Pemerintahan Kota Palu. Visi Pemerintah Kota Palu tersebut, terkesan terabaikan, sebab sejak diresmikannya  Kota Palu sebagai pusat substation penelitian dan pengembangan kakao, pada tahun 2011 kemarin, oleh Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Republik Indonesia, yang diwakili Sekretaris Jenderal Perkebunan, Mukti Sarjono, sampai saat ini belum ada gerakan Pemerintah Kota Palu, untuk melakukan pegembangan gedung yang telah diresmikan tersebut, paling tidak melakukan upaya sosialisasi ketingkat kalangan bawah.
Dalam sambutannya Mukti Sarjono mengatakan, dipilihnya Sulawesi Tengah sebagai salah satu daerah central kakao di indonesia, merupakan apresiasi positif dari pihak kementerian, sebab itu salah satu program kementerian untuk berupaya, meningkatkan kualitas kakao yang akan dihasilkan. Karena Sulawesi Tengah adalah salah satu daerah penghasil kakao terbesar se Indonesia, namun selama ini perhatian pengembangan kakao tersebut, masih kurang meyentuh daerah-daerah penghasil kakao itu sendiri. Sehingga kebijakan dalam program tersebut, terpilihnya Kota Palu sebagai Ibu Kota propinsi Sulawesi Tengah, adalah salah satu jawaban pemerintah pusat, atas keiginan Pemerintah Kota Palu, yang akan menjadikan Kota Palu sebagai Pusat Perdagangan Kakao.
Sementara pada tahun 2010, devisa negara Indonesia sebanyak US.$. 1,6 miliar atau sebanyak Rp.15 triliun, dari komuditas kakao, sehingga kakao menjadi komuditas unggulan negara saat ini, untuk itu pemerintah berupaya medorong agrebisnis dan agro industri, pengembangan wilayah. Saat ini luas area kakao indonesia mecapai 1,6 juta hektar, dan hasil produksinya sebanyak 844 ribu ton. Yang melibatkan rakyat petni kakao sebanyak 1,5 juta KK. Dengan demikain pencapaian itu, memposisikan Indonesia sebagai Negara pemasok nomor dua kakao setelah Negara Afrika, Pengembangan Kakao adalah upaya untuk menjadikan Indonesia nomor satu di dunia.
Sedangkan posisi Sulawesi Tengah, dengan hasil produksi kakao, diakhir bulan oktober pada tahun 2011 kemarin, total ekspor 126 ribu ton. Untuk Negara dengan jumlah ekspornya kurang lebih sebesar 600 ribu ton, Sulteng adalah pemasuk terbesar bagi Indonesia. Jumlah tersebut adalah yang terkecil jika dibandingkan dengan hasil kakao Sulteng yang selama ini, banyak yang dijual langsung ke negara tetanga seperti Malaysia, Singapur, dan China, yang dilakukan oleh para pengusaha lokal.  
Fenomena itu tidak bisa dimunafikan, karena terkadang permainan harga kakao di negara Indonesia sendiri, sering mengalami anjlok (naik turun) yang tidak memberikan kepastian harga, disinilah peran pemerintah harus benar-benar dapat mengawal harga kakao tersebut. Agar tdak menjadikan petani kakao, semakin kendor semangatnya dalam membudidayakan tanaman kakao tersebut, sebab selama ini di Sulteng, petani kakao tengah mengalami kerugian yang cukup tinggi, karena tanaman mereka terserang hama tanaman, seperti pengerek batang, yang mengakibatkan matinya tanaman, hama buah yang menyebabkan buah jadi mati (menghitam). Permainan para pengusaha kakao lokal, yang juga menjadikan petani kakao sebagai, sasaran untuk mengambil keuntungan, tanpa memikirkan nasib petani kakao, dengan harga dalam negeri yang anjlok, dan menjualnya melalui negara tetangga dengan harga dua hingga tiga kali lipat.
Alhamdulillah.....!!! Pemerintah Pusat sudah mulai sadar, ketika melihat perkembangan kakao yang sudah semakin berkurang, dan kualitasnyapun sudah semakin merosot, yang dikarenakan kebijakan kurang tepat sasaran atas dijadikannya daerah Batam sebagai kawasan industri kakao, pada hal daerah tersebut sama sekali tidak memiliki lahan kakao sedikitpun. Kebijakan itu atas dasar rekomendasi LP3i, yang hanya berdasarkan atas keinginan kepentigan individual, bukan atas dasar patut dan tidaknya, wajar dan tidaknya pembangunan industri tersebut.  
Saat ini, kakao indonesia sedang sakit, termasuk di daerah Sulteng, sehingga semua petani lagi menjerit, dan membutuhkan solusi atas penyakit kakao itu. Hingga saat ini pula, pusat substation penelitian dan pengembangan kakao yang dipusatkan di Kota Palu, belum beroperasi sedikitpun dan belum melakukan apapun, sehingga solusi atas penyakit kakao itu, belum terjawab. Sedangkan fakultas pertanian di Universitas yang ada, telah meluluskan ratusan bahkan ribuan sarjana pertanian, dengan mengambil penelitian S1, S2 bahakan S3, meneliti penyakin hama kakao.
“Indonesia Mubazir Sarjana Tak Bersekolah”

Kamis, 19 Juli 2012

GERAKAN EKTRAPARLEMENTER “Is dead”


Gerakan ekstraparlementer yang resah dengan jeritan kaum tertindas, teraniaya yang tidak merasakan keadilan hukum ataupun kebijakan pemerintah, mulai surut bahkan bisa dianggap telah mati tanpa nisannya, sebab kompleksitas persoalan yang terjadi hari ini dirasakan oleh masyarakat kecil. Telah mewarnai wajah media, baik media elektronik maupun media cetak yang ada, dengan berbagai persoalan yang telah menimpa kamu papa yang tertindas, namun yang disayangkan isu yang beredas tersebut, tidak mendapatkan tanggapan gerakan sejumlah aktifis yang terhimpun dalam kelembagaannya.
Hal itu disampaikan Ketua Forum Masyarakat Peduli Demokrasi (FMPD), Ridwan Lapasere, saat memberikan pandangan hasil dari pendapat dan tanggapan, dalam kegiatan dialog yang bertajuk “Masih Efektifkah Gerakan Ekstraparlemen” yang dilaksanakan di gedung madamba pura, RRI Palu, kamis (29/12). Kegiatan yang disiarkan langsung melalui Radio Republik Indonesia Palu, menghadirkan narasumber dari pihak eksekutif yang dihadiri oleh Ridwan Yalidjama, Cristian Tindjabate dan Agus Faisal dan di arahkan oleh moderator Rifai.
Menurut Ridwan Lapasere, tujuan gerakan ekstraparlemen merupakan salah satu upaya untuk menyuarakan keadilan yang bermula dari kekuatan kelompok di sebuah lembaga, kekuatan tersebut bukan karena kepentingan sesaat ataupun kelompok serta individual, akan tetapi merupakan suara kekuatan moral atas kemorosotan moral para pengambil kebijakan tersebut (Pemerintah dan Eksekutif).
Disisi lain, peran eksekutif yang diharapkan dapat mengontrol kebjakan itu, dianggap tidak bisa diandalkan, karena mereka pun banyak yang tidak memiliki komitmen dengan perjuangan ketidak adilan yang menimpah masyarakat ini, ucap pemilik nama sapaan Iwan ini.“Tidak semua juga para eksekutif demikian, akan tetapi yang paling menonjol adalah, para eksekutif tersebut, bersembunyi ketika ada gerakan-gerakan itu,” jelasnya.
Dia juga menambahkan, saat ini gerakan yang dilakukan oleh mereka yang biasa turun dijalanan dengan menyuarakan suara rakyat, akan tetapi itu tidak tuntas sampai penyelesaian masalah yang mereka angkat dan suarakan tersebut. Seharusnya gerakan itu dilakukan sampai dengan eksien pendampingannya melalui dialog dengan para pelaku pengambil kebijakan tersebut.“Kami harapkan gerakan ekstraparlemen terus dilakukan, sebab gerakan itu masih dibutuhkan oleh masyarakat,” jelas Iwan Lapasere yang juga Ketua Aliansi Jurnalis Independen ini.
Lebih lanjut dia menjelaskan, seharusnya dalam gerakan itu, tidak mesti harus anarkis dan membabibuta, masih banyak solusi yang bisa dilakukan, agar pesan dalam gerakan sampai pada titik puncak tujuannya, anarkismen dalam gerakan, dibutuhkan ketika mengalami kebuntuan solusi dalam tujuan gerakan tersebut.
(Sumber : Harian Umum Media Alkhairaat - yusuf)   
 

Selasa, 17 Juli 2012

Pembangunan Grand Mall “Tidak Logis”

Ashar Yahya
PALU – Salah satu aktifis Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kota Palu, Ashar Yahya, menyatakan, pembangunan grand mall yang ditandai dengan, peletakan batu pertama, pada jumat (6/7) pekan lalu, di Taman Ria, wilayah Kecamatan Palu Barat, “tidak logis”. Karena penilaiannya, belum layak pembangunan mall di Kota Palu, sebab keberadaan mall tatura, yang saat ini beroperasi belum dapat memberikan kontribusi apapun pada peningkatan APBD Kota Palu.
“Pemerintah kita ini, juga tidak jelas,” kata dia pada media ini, kemarin.
Dia juga menjelaskan, keberadaan mall tatura yang dibangun, dengan menggunakan dana hutang, melalui salah satu Bank di Kota Manado, beberapa tahun yang lalu, dengan jumlah hutang kurang lebih Rp50 miliyar, sampai saat ini belum selesai pengembaliannya. Yang menjadi jaminan dalam pengambalian, dana hutang tersebut menggunakan anggaran APBD Kota Palu, yang sudah diperkirakan akan selesai pada tahun 2015 mendatang.
Sehingga Pemerintah Kota Palu, pemilik saham di mall tatura tersebut, sebanyak 98 persen dan dibagi sisa saham lainnya, adalah pembesar di Kota Palu sendiri. Sementara mall tatura yang diperkirakan, dapat terisi full dengan para penyewa alias pedagang, ternyata tidak sesuai denga harapan, karena sampai saat ini pun, masih banyak kaplingan yang basih kosong dilantai III dan IV, sebutnya.
“Itu menandakan, bangunan mall tatura itu, masih dalam pembenahan terus,” kata dia lagi.
Menurut dia, kondisi Kota Palu dengan saya beli masyarakatnya masih dibawah rata-rata, jika Pemkot Palu sudah mengizinkan lagi pembangunan mall lain, dengan kapasitas yang lebih besar, maka akan mengurangi pendapatan bagi mall tatura. Kondisi itu nantinya, akan menjadikan mall tatura, sebagai pusat hiburan masyarakat semata, sebab karakter pembeli masyarakat Kota Palu, belum tinggi, karena tingkat kebutuhan masyarakat sendiri juga belum mendesak, seperti di Kota-kota besar lainnya.
Dia mencontohkan kondisi tersebut, dengan bangunan karaoke yang sudah menjamur di Kota Palu, sebelumnya tempat karaoke menjadi tempat istimewa bagi masyarakat untuk, refresing (hiburan) bersama keluarga. Namun dengan bertambahnya tempat karaoke lainnya, membuat tempat karaoke lainnya semakin sunyi, karena karakter masyarakat yang suka dengan suasana baru, dan mencoba serta sekaligus dijadikan tempat untuk bersantai.
“Saya tidak optimis, tapi kondisi ini perlu diperhatikan Pemkot Palu,” jelasnya.
Lanjutnya, pada tahun sebelumnya, saat dirinya masih berstatus anggota DPRD Kota Palu, Walikota Palu, Rusdi Mastura, pernah menyatakan sikap untuk tidak mengizinkan, pembangunan mall lain, sebelum dana hutang yang dipergunakan untuk pembangunan mall tatura tersebut, selesai dilunasi. Karena pada tahun sebelumnya, juga pernah ada investor yang datang meminta izin pembangunan mall, namun tidak diberikan izin oleh Pemkot Palu.