YUSUF SAGOBA
Senin, 09 September 2013
Jumat, 28 September 2012
Wajah Kota Palu Dulu dan Sekarang
KOTA PALU MEMBENAH DIRI DI USIA 34 TAHUN
Pada tanggal 27 kemarin, Kota Palu sudah memasuki usianya yang ke 34 tahun, Pemerintah Kota Palu merayakan HUT Kota Palu dengan melaksanakan upacara perayaan, yang didominasi oleh pertunjukan tarian adat, suku kaili. pelaksanaan upacara HUT Kota itu, juga dirangkaikatan dengan pembukaan Festival Teluk Palu (FTP). Pemerintah Kota Palu, saat ini sedang melakukan berbagai upaya untuk membenahi dirinya, termasuk saat diusia yang ke 34 tahun, pembenahan tersebut tertuang dalam program visi misi Kota Palu menuju tahun 2015, akhir dari masa jabatan kepemimpinan Wlikota Palu, Rusdi Mastura dan Waki Walikota Palu, H. Andi Mulhanan Tombolotutu.
Apakah yang sudah dilakukan dan yang belum dilakukan duet kepemimpinan mereka ?
Jumat, 07 September 2012
KISAH ANI PIJA : Korban Gempa Terjepit Hingga Pagi
Sungguh memilukan nasib janda tua, bernama Ani Pija (52)
itu, warga Desa Tuva Kecamatan Gubasa Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, sejak
ditinggal suaminya dia hidup bersama enam orang anaknya disebuah gubuk tua. 10
tahun lebih dia menghidupi ke enam anaknya, hanya mengandalkan uluran tangan
tetangganya, melalui pekerjaan sebagai buru tani, yang dihargai dalam seharinya
sebesar Rp15 ribu.
Ani Pija, yang biasanya tidak pernah terlihat murung dan
berputus asa, saat ini sering termenung dan berdiam diri, saat senja akan
tenggelam. Dibalik tenda pengungsian di depan gubuk tuanya, Ani berpasrah diri
pada Tuhan, karena gubuk tuanya, kini tinggal diganjal dengan sebuah balok.
Sejak terjadinya gempa pada sabtu (18/8) pekan kemarin.
Sebulan lebih pasca gempa yang berkekuatan 6,2 SR, menerpa
Desa Kelahirannya dan menghancurkan sekitar ribuan rumah dari tiga Kecamatan
Kabupaten Sigi. Kondisi Ani bagaikan terjepit dalam reruntuhan banguan, karena situasi
mencekam tetap terlihat pada benaknya saat menjelang malam, dia masih terbayang
dengan kejadia tersebut. “Saya takut pak, bagaimana kalau gempa itu terjadi
lagi, pasti rumah saya akan rubuh, karena hanya inilah satu-satunya warisan peninggalan
suami saya,” kata dia sambil meneteskan air mata.
Sementara sejak kejadian bencana gempa itu, Ani Pija mengaku
tidak berani meminta bantuan sosial yang bertumpuk di posko penanggulangan
bencana, karena dia juga tidak mau tersinggung, sebab selama ini pendistribusia
bantuan itu, tidak merata bahkan ada yang saling mencurigai. Dia rela bernaung
di tenda milik pribadinya sendiri, yang sudah pada bocor dan tidak layak lagi
untuk bernaung. Sementara warga lainnya yang tidak terlalu parah kondisi
rumahnya, mendapatkan bantua tenda dan peralatan lainnya dan masih tergolong
mampu.
“Alhamdulillah saya masih punya tenda ini, walaupun kalau
ada hujan dipastikan akan basah,” kata dia lagi.
Ani Pija bersama salah seorang anaknya dan menantunya, serta
ditemani cucu tercintanya, tetap bertahan di tenda tua, dan makan apa adanya
tanpa lauk pauk yang layak. Baginya kondisi itu, hal yang biasa dihadapainya,
sebelum gempa itu terjadi. “Saya sudah biasa makan apa adanya,” jelasnya.
Demikian sekilas sejarah korban gempa Kabupaten Sigi, Sulawesi
Tengah yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Ironisnya, bantuan tertumpuk
ditenda posko, salah seorang petugas posko mengatakan, bantuan itu tidak akan
dibagikan, jika tidak ada permintaan dari pihak terkait, yang dikoordinir
Kepala Desanya.
KONDISI KORBAN PASCA BENCANA GEMPA SIGI
Tentunya belum hilang
dari ingatan kita, kejadian sehari sebelum Idul Fitri 1433 Hijriah, tepatnya
pada, sabtu (18/8) pekan lalu, Kota Palu dan sekitarnya, dikejutkan dengan
bencana gempa yang berkekuatan, 6,2 SR berpusat di Danau Lindu Kabupaten Sigi. Sebanyak
4.757 jiwa, dan lima diantaranya meninggal dunia, warga dari tiga Kecamatan
yakni, Kecamatan Gumbasa, Kulawi dan Lindu, Kabupaten Sigi menjadi korban
bencana gempa tersebut. Sejak kejadian itu, banyak masyarakat ikut
berpartisipasi, menyalurkan bantuan untuk meringankan beban masyarakat
setempat, sama halnya dengan beberapa langkah pemerintah Propinsi Sulawesi
Tengah dan Kabupaten Sigi sendiri, serta Pemerintah Kota Palu yang turut
membantu, duka mendalam yang dialami warga Sigi.
Bantuan demi bantuan,
silih berganti berdatangan, dengan berbagai jenis barang dan peralatan yang
harus disiapkan, untuk warga di tiga Kecamatan yang menjadi korban keganasan
alam. Ironisnya bukan hanya bantuan barang yang datang di daerah itu, akan
tetapi sepertinya sudah menjadi kebiasaan warga sekitar Kabupaten Sigi dan
sekitarnya, menjadikan daerah bencana sebagai pusat rekreasi keluarga, bagaikan
taman hiburan, yang kemudian menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka, untuk
menjadi bahan pembicaraan pada warga sekitarnya.
Satu bulan lebih sudah, bencana
gempa Kabupaten Sigi, sampai saat ini penanganan korban pasca bencana tersebut,
masih terus dilakukan. Bantuan sosial pun tetap berdatangan, untuk membantu
warga di tiga Kecamatan menjadi korban. Demikian dikatakan, Irwanto salah satu
anggota Posko Induk bantuan korba bencana Kabupaten Sigi, jumat (6/9) di Desa
Tuva Kecamatan Gumbasa.
Menurut dia, dalam
penanganan korban bencana gempa tersebut, pihaknya bersama tim relawan lainnya,
banyak mengalami rintagan dan tantangan, yang berkaitan dengan kesiapan barang,
jalur ditempu saat pendistribusian bantuan, dan beberapa tantangan lainnya,
seperti yang dialaminya beberapa minggu yang lalu, saat dirinya dikritik warga
Desa Tuva, soal pendistribusian bantuan ke Desa lainnya. “Saya dan teman-teman
lainnya, pernah didatangi sejumlah warga, mereka mempertanyakan pendistribusian
bantuan itu ke Desa lain,” kata dia.
Dia juga menjelaskan,
kalau warga Desa Tuva Kecamatan Gumbasa, berpendapat bahwa bantaun yang berada
di posko induk itu, adalah bantaun yang diperuntukan bagi mereka semua, pada
hal posko induk itu didirikan, saat sebelum ada jalan tembusan, ke Desa
lainnya. Akan tetapi saat ini masyarakat, sudah mengerti dan memahami bawha
posko yang didirikan di desa mereka adalah posko induk untu penampungan barang
bantuan bagi warga lain selain mereka.
saat ini baru saja
melakukan, pendistribusian tiga jenis bantuan ke Kecamatan Lindu yaitu beras
tiga ton, tikar plastik sebanyak 29 lembar, dan 10 buah tenda pengungsian.
Namun Pendsitribusian bantuan ke
Kecamatan Lindu, sudah menghabiskan biaya yang tidak sedikit, karena barang
bantuan itu didistribusikan melalui jasa tukang ojek setempat, dengan biaya
sebanyak Rp75 ribu hingga Rp150 ribu dalam satu kali antara, ungkapnya. “Lebih
banyak biaya pendistribusiannya, dari pada nilai barang yang akan dibantukan,”
jelasnya.
Dia juga menambahkan,
bantuan yang datang dari para donatur baik pemerintah, maupun swasta didominasi
barang mie instan, sementara warga setempat, memerlukan bantaun seperti beras,
minyak goreng, minyak tanah, dan tenda pengungsian serta yang lebih dibutuhkan
dan tidak ada stoknya adalah susu ibu hamil dan susu bayi.
Hal itu dibenarkan,
Kepala Puskesmas Kecamatan Kulawi, Yosephin Paelong. Sejak bencana gempa
melanda tiga Kecamatan tersebut, yang hampur tidak ada jenis bantuannya adalah
susu ibu hamil dan bayi, karena sebanyak 49 orang ibu hamil yang menjadi korban
bencana gempa itu, khusus dilima Desa yaitu Desa Namo sebanyak 8 orang, Desa
Boladangko 6 orang, Desa Bolapapu 8 orang, Desa Tangkulowi 10 orang dan Desa
Salua 17 orang. “Diantaranya ada yang melahirkan di tenda pengunsian,”
sebutnya.
Dia juga menjelaskan,
kalau selama ini pihaknya, pernah dimintai data-data dari Dinas Kesehatan
Propinsi Sulteng, dan juga dari pihak Kabupaten Sigi, akan tetapi sampai saat
ini bantuan berupa susu ibu hamil dan bayi tersebut, belum juga datang.
Sementara kondisi ibu hamil dan bahkan ada yang melahirkan tersebut, sungguh
memprihatinkan, karena mereka hanya makan, seadanya dari bantuan mie instan.
Sementara seharusnya yang
idelanya, ibu hamil setelah melahirkan, harus lebih banyak menyerap makanan
yang bergizi, agar kekuatannya setelah melahirkan kembali normal seperti
biasanya, dan sama halnya dengan bayi mereka. Kondisi kesehatan bayi akan
terganggu, jika makanan yang diserap tubuh ibunya, tidak mengandung gizi yang
lebih, sehingga akan berpengaruh pada tingkat pertumbuhan bayi, dan bagi
kesehatannya, ungkapnya.
Dia hanya mengharapkan,
agar bantun bagi ibu hamil seperti susu dan makanan lainnya, dapat segera
didistribusikan untuk memenuhi, tingkat keselamatan ibu dan hamil kedepan. Agar
tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, seperti perkembangan penyakit dan
kematian.
Penyerahan Diri Warga Tuva
Warga Desa Tuva Kecamatan
Gumbasa, saat ini banyak yang berserah diri pada, kekuasaan Tuhan YME, terkait
dengan kondisi alam tempat mereka berpijak, yang kini masih sering mengalami
guncangan gempa yang dimaksud. Tetapi tidak bagi sekelompok masyarakat Desa
Tuva lainnya, yang berjumlah kurang lebih 20 KK mengungsikan diri mereka, ke
lereng hingga puncang gunung Lalere yang berjak sekitar satu kilo meter lebih, dari
Desa tersebut. Mereka mengungsikan diri sejak beredarkanya isu bahwa pada
tanggal 16 nantinya pada bulan ini, akan terjadi lagi gempa yang lebih besar
dan berkekuatan lebih dari sebelumnya.
Asri Mustakim (50) warga
DesaTuva, yang baru turun dari lereng gurung Lalere, untuk meminta persiapan
bantuan, mengatakan. Dirinya dan keluarganya, terpaksa harus mengungsi gunung,
karena takut dengan ancaman bencana susulan seperti yang didengar dari
orang-orang. “Saya dan keluarga sudah dua minggu mengungsikan diri ke puncak
gunung Lalere,” kata dia.
Lain lagi dengan Hatija
Calikoro (28) ibu dua anak, juga warga Desa Tuva, yang memilih tetap bertahan
di Desa itu. Menurut dia, dengan bertahan di Desa lebih mudah mendapatkan
bantuan penyelamatan, jika benar-benar terjadi bencana susulan seperti yang
diisukan. “Kalau saya tidak masalah, tapi ibu saya kasian dia sudah tua,
bagaimana kalau memang benar terjadi,” kata dia dengan nada sedih.
Nama ibu kandung dari
Hatija Calikoro, Indo Tiha (68) hingga kini masih mengalami trauma, karena
setiap mendengarkan isu gempa dan banjir dirinya gemetar dan ketakutan. Indo
Tiha, kelahiran Kelurahan Duyu itu, enggan meninggalkan desa yang sudah
menghidupinya selama 50 tahun.
Lain lagi dengan Ali Guva
(38), juga warga Tuva, dia memanfaatkan situasi itu dengan berprofesi sebagai
tukang ojek, dia mengaku setiap pendistribusian bantuan ke Kecamatan Lindu,
dirinya mendapatkan keuntungan sebanyak Rp200 hingga Rp350 ribu. Bukan hanya
sekedar mengantar bantuan, akan tetapi dirinya juga membeli ikan mujair dari
danau lindu, untuk dijual di masyarakat berada di lemba Palu. “Saya kalau sudah
turun, saya uang dari ojek, saya belikan ikan mujair, lumayan harganya disana,
hanya tiga sampai empat ribu per enam ekornya,” katanya.
Dia juga mengaku, tidak
layak mengambil ke untungan dalam situasi seperti itu, akan tetapi baginya,
membawa bantuan dengan muatan lebih dari kapasitanya, dengan resiko tinggi,
karena menempu jalur yang masih sangat rawan dengan kecelakaan, merupakan hal
yang wajar-wajar saja.
Demikian reportase ini,
yang menggambarkan kondisi terakhir, pasca gempa Kabupaten Sigi selama ini,
warga ditiga Kecamatan, masih terus membutuhkan uluran tangan masyarakat dan
khususnya pemerintah. Saat ini Sulteng harus bercermin dari bencana yang melanda
daerahnya, karena satu bulan terakhir bencana silih berganti, yang
terakhir bencana itu terjadi di Kabupaten
Parigimautong, yang memutuskan jembatan didaerah itu dan Kota Palu yang juga menghanyutkan ratusan rumah. Ancaman akan bencana alam di Sulawesi Tengah, seakan menyampaikan
pesan penting bagi masyarakat, utamanya bagi pemerintah di daerah ini, untuk
selalu mengigatkan warganya selalu meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan
mereka.
Dengan mempersiapkan seluruh elemen terkait
harus lebih intensif lagi melakukan sosialisasi dan pengenalan kepada
masyarakat agar bisa menekan korban dalam setiap kali terjadinya bencana di
Sulteng ini. Sebab soal bencana adalah tanggung jawab bersama instansi
pemerintah yang ada baik daerah Kabupaten/Kota maupun Propinsi sendiri, lebih
lagi yang berkaitan dengan kebencanaan seperti BPBD, Bakornas, Satganas dan
beberapa lembaga resmi lainnya.
Rabu, 25 Juli 2012
KOMUDITI KAKAO TINGGAL KENANGAN
Visi Pembangunan Pemerintah Kota Palu Yang Terabaikan
Visi dan Misi Pemerintah Kota
Palu, yang akan menjadikan Kota Palu sebagai Kota Pusat Perdagangan Kakao, yang
akan dicapai secara sempurna pada tahun 2025 mendatang, hal itu berdasarkan
rencana program jangka panjang (RPJP) Pemerintahan Kota Palu. Visi Pemerintah
Kota Palu tersebut, terkesan terabaikan, sebab sejak diresmikannya Kota Palu sebagai pusat substation penelitian
dan pengembangan kakao, pada tahun 2011 kemarin, oleh Direktur Jenderal
Perkebunan, Kementerian Republik Indonesia, yang diwakili Sekretaris Jenderal
Perkebunan, Mukti Sarjono, sampai saat ini belum ada gerakan Pemerintah Kota
Palu, untuk melakukan pegembangan gedung yang telah diresmikan tersebut, paling
tidak melakukan upaya sosialisasi ketingkat kalangan bawah.
Dalam sambutannya Mukti Sarjono
mengatakan, dipilihnya Sulawesi Tengah sebagai salah satu daerah central kakao
di indonesia, merupakan apresiasi positif dari pihak kementerian, sebab itu salah
satu program kementerian untuk berupaya, meningkatkan kualitas kakao yang akan
dihasilkan. Karena Sulawesi Tengah adalah salah satu daerah penghasil kakao
terbesar se Indonesia, namun selama ini perhatian pengembangan kakao tersebut,
masih kurang meyentuh daerah-daerah penghasil kakao itu sendiri. Sehingga kebijakan
dalam program tersebut, terpilihnya Kota Palu sebagai Ibu Kota propinsi
Sulawesi Tengah, adalah salah satu jawaban pemerintah pusat, atas keiginan
Pemerintah Kota Palu, yang akan menjadikan Kota Palu sebagai Pusat Perdagangan
Kakao.
Sementara pada tahun 2010, devisa
negara Indonesia sebanyak US.$. 1,6 miliar atau sebanyak Rp.15 triliun, dari
komuditas kakao, sehingga kakao menjadi komuditas unggulan negara saat ini, untuk
itu pemerintah berupaya medorong agrebisnis dan agro industri, pengembangan
wilayah. Saat ini luas area kakao indonesia mecapai 1,6 juta hektar, dan hasil
produksinya sebanyak 844 ribu ton. Yang melibatkan rakyat petni kakao sebanyak
1,5 juta KK. Dengan demikain pencapaian itu, memposisikan Indonesia sebagai
Negara pemasok nomor dua kakao setelah Negara Afrika, Pengembangan Kakao adalah
upaya untuk menjadikan Indonesia nomor satu di dunia.
Sedangkan posisi Sulawesi Tengah,
dengan hasil produksi kakao, diakhir bulan oktober pada tahun 2011 kemarin, total
ekspor 126 ribu ton. Untuk Negara dengan jumlah ekspornya kurang lebih sebesar
600 ribu ton, Sulteng adalah pemasuk terbesar bagi Indonesia. Jumlah tersebut
adalah yang terkecil jika dibandingkan dengan hasil kakao Sulteng yang selama
ini, banyak yang dijual langsung ke negara tetanga seperti Malaysia, Singapur,
dan China, yang dilakukan oleh para pengusaha lokal.
Fenomena itu tidak bisa
dimunafikan, karena terkadang permainan harga kakao di negara Indonesia
sendiri, sering mengalami anjlok (naik turun) yang tidak memberikan kepastian
harga, disinilah peran pemerintah harus benar-benar dapat mengawal harga kakao
tersebut. Agar tdak menjadikan petani kakao, semakin kendor semangatnya dalam
membudidayakan tanaman kakao tersebut, sebab selama ini di Sulteng, petani
kakao tengah mengalami kerugian yang cukup tinggi, karena tanaman mereka
terserang hama tanaman, seperti pengerek batang, yang mengakibatkan matinya
tanaman, hama buah yang menyebabkan buah jadi mati (menghitam). Permainan para
pengusaha kakao lokal, yang juga menjadikan petani kakao sebagai, sasaran untuk
mengambil keuntungan, tanpa memikirkan nasib petani kakao, dengan harga dalam
negeri yang anjlok, dan menjualnya melalui negara tetangga dengan harga dua
hingga tiga kali lipat.
Alhamdulillah.....!!! Pemerintah
Pusat sudah mulai sadar, ketika melihat perkembangan kakao yang sudah semakin
berkurang, dan kualitasnyapun sudah semakin merosot, yang dikarenakan kebijakan
kurang tepat sasaran atas dijadikannya daerah Batam sebagai kawasan industri kakao,
pada hal daerah tersebut sama sekali tidak memiliki lahan kakao sedikitpun. Kebijakan
itu atas dasar rekomendasi LP3i, yang hanya berdasarkan atas keinginan
kepentigan individual, bukan atas dasar patut dan tidaknya, wajar dan tidaknya
pembangunan industri tersebut.
Saat ini, kakao indonesia sedang sakit, termasuk di daerah Sulteng,
sehingga semua petani lagi menjerit, dan membutuhkan solusi atas penyakit kakao
itu. Hingga saat ini pula, pusat substation penelitian dan pengembangan kakao
yang dipusatkan di Kota Palu, belum beroperasi sedikitpun dan belum melakukan
apapun, sehingga solusi atas penyakit kakao itu, belum terjawab. Sedangkan fakultas
pertanian di Universitas yang ada, telah meluluskan ratusan bahkan ribuan
sarjana pertanian, dengan mengambil penelitian S1, S2 bahakan S3, meneliti
penyakin hama kakao.
“Indonesia Mubazir Sarjana Tak Bersekolah”
Kamis, 19 Juli 2012
GERAKAN EKTRAPARLEMENTER “Is dead”
Gerakan ekstraparlementer yang resah dengan
jeritan kaum tertindas, teraniaya yang tidak merasakan keadilan hukum ataupun
kebijakan pemerintah, mulai surut bahkan bisa dianggap telah mati tanpa
nisannya, sebab kompleksitas persoalan yang terjadi hari ini dirasakan oleh
masyarakat kecil. Telah mewarnai wajah media, baik media elektronik maupun
media cetak yang ada, dengan berbagai persoalan yang telah menimpa kamu papa
yang tertindas, namun yang disayangkan isu yang beredas tersebut, tidak
mendapatkan tanggapan gerakan sejumlah aktifis yang terhimpun dalam
kelembagaannya.
Hal itu disampaikan Ketua Forum Masyarakat
Peduli Demokrasi (FMPD), Ridwan Lapasere, saat memberikan pandangan hasil dari
pendapat dan tanggapan, dalam kegiatan dialog yang bertajuk “Masih Efektifkah Gerakan Ekstraparlemen”
yang dilaksanakan di gedung madamba pura, RRI Palu, kamis (29/12). Kegiatan
yang disiarkan langsung melalui Radio Republik Indonesia Palu, menghadirkan
narasumber dari pihak eksekutif yang dihadiri oleh Ridwan Yalidjama, Cristian
Tindjabate dan Agus Faisal dan di arahkan oleh moderator Rifai.
Menurut Ridwan Lapasere, tujuan gerakan
ekstraparlemen merupakan salah satu upaya untuk menyuarakan keadilan yang
bermula dari kekuatan kelompok di sebuah lembaga, kekuatan tersebut bukan
karena kepentingan sesaat ataupun kelompok serta individual, akan tetapi
merupakan suara kekuatan moral atas kemorosotan moral para pengambil kebijakan
tersebut (Pemerintah dan Eksekutif).
Disisi lain, peran eksekutif yang
diharapkan dapat mengontrol kebjakan itu, dianggap tidak bisa diandalkan,
karena mereka pun banyak yang tidak memiliki komitmen dengan perjuangan ketidak
adilan yang menimpah masyarakat ini, ucap pemilik nama sapaan Iwan ini.“Tidak semua juga para eksekutif demikian,
akan tetapi yang paling menonjol adalah, para eksekutif tersebut, bersembunyi
ketika ada gerakan-gerakan itu,” jelasnya.
Dia juga menambahkan, saat ini gerakan yang
dilakukan oleh mereka yang biasa turun dijalanan dengan menyuarakan suara
rakyat, akan tetapi itu tidak tuntas sampai penyelesaian masalah yang mereka
angkat dan suarakan tersebut. Seharusnya gerakan itu dilakukan sampai dengan
eksien pendampingannya melalui dialog dengan para pelaku pengambil kebijakan
tersebut.“Kami harapkan gerakan ekstraparlemen terus
dilakukan, sebab gerakan itu masih dibutuhkan oleh masyarakat,” jelas Iwan
Lapasere yang juga Ketua Aliansi Jurnalis Independen ini.
Lebih lanjut dia menjelaskan, seharusnya dalam gerakan itu,
tidak mesti harus anarkis dan membabibuta, masih banyak solusi yang bisa
dilakukan, agar pesan dalam gerakan sampai pada titik puncak tujuannya,
anarkismen dalam gerakan, dibutuhkan ketika mengalami kebuntuan solusi dalam
tujuan gerakan tersebut.
(Sumber : Harian Umum Media Alkhairaat - yusuf)
Selasa, 17 Juli 2012
Pembangunan Grand Mall “Tidak Logis”
Ashar Yahya |
PALU – Salah satu aktifis Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kota Palu, Ashar Yahya, menyatakan, pembangunan
grand mall yang ditandai dengan, peletakan batu pertama, pada jumat (6/7) pekan
lalu, di Taman Ria, wilayah Kecamatan Palu Barat, “tidak logis”. Karena
penilaiannya, belum layak pembangunan mall di Kota Palu, sebab keberadaan mall
tatura, yang saat ini beroperasi belum dapat memberikan kontribusi apapun pada
peningkatan APBD Kota Palu.
“Pemerintah kita ini, juga tidak jelas,” kata dia pada media
ini, kemarin.
Dia juga menjelaskan, keberadaan mall tatura yang dibangun,
dengan menggunakan dana hutang, melalui salah satu Bank di Kota Manado,
beberapa tahun yang lalu, dengan jumlah hutang kurang lebih Rp50 miliyar, sampai
saat ini belum selesai pengembaliannya. Yang menjadi jaminan dalam
pengambalian, dana hutang tersebut menggunakan anggaran APBD Kota Palu, yang
sudah diperkirakan akan selesai pada tahun 2015 mendatang.
Sehingga Pemerintah Kota Palu, pemilik saham di mall tatura
tersebut, sebanyak 98 persen dan dibagi sisa saham lainnya, adalah pembesar di
Kota Palu sendiri. Sementara mall tatura yang diperkirakan, dapat terisi full
dengan para penyewa alias pedagang, ternyata tidak sesuai denga harapan, karena
sampai saat ini pun, masih banyak kaplingan yang basih kosong dilantai III dan IV,
sebutnya.
“Itu menandakan, bangunan mall tatura itu, masih dalam
pembenahan terus,” kata dia lagi.
Menurut dia, kondisi Kota Palu dengan saya beli
masyarakatnya masih dibawah rata-rata, jika Pemkot Palu sudah mengizinkan lagi
pembangunan mall lain, dengan kapasitas yang lebih besar, maka akan mengurangi
pendapatan bagi mall tatura. Kondisi itu nantinya, akan menjadikan mall tatura,
sebagai pusat hiburan masyarakat semata, sebab karakter pembeli masyarakat Kota
Palu, belum tinggi, karena tingkat kebutuhan masyarakat sendiri juga belum
mendesak, seperti di Kota-kota besar lainnya.
Dia mencontohkan kondisi tersebut, dengan bangunan karaoke
yang sudah menjamur di Kota Palu, sebelumnya tempat karaoke menjadi tempat
istimewa bagi masyarakat untuk, refresing (hiburan) bersama keluarga. Namun
dengan bertambahnya tempat karaoke lainnya, membuat tempat karaoke lainnya
semakin sunyi, karena karakter masyarakat yang suka dengan suasana baru, dan
mencoba serta sekaligus dijadikan tempat untuk bersantai.
“Saya tidak optimis, tapi kondisi ini perlu diperhatikan
Pemkot Palu,” jelasnya.
Lanjutnya, pada tahun sebelumnya, saat dirinya
masih berstatus anggota DPRD Kota Palu, Walikota Palu, Rusdi Mastura, pernah
menyatakan sikap untuk tidak mengizinkan, pembangunan mall lain, sebelum dana
hutang yang dipergunakan untuk pembangunan mall tatura tersebut, selesai
dilunasi. Karena pada tahun sebelumnya, juga pernah ada investor yang datang
meminta izin pembangunan mall, namun tidak diberikan izin oleh Pemkot Palu.
Langganan:
Postingan (Atom)