Jumat, 25 November 2011

Suasana Pagi yang Hilang


Sejak lama aku terus dibayagi dunia khayalan, tentang sesuatu yang tidak akan mungkin terjadi, sebab kehidupan yang berada dalam khayalan itu adalah kehidupan diluar kesadaran manusia (mimpi) dalam perjalanannya. Sementara khayalan itu dalam istilah banyak manusia, biasanya disebut sebagai keinginan yang tidak pasti (tidak nyata), sebab ia hanya bermain di alam pikirannya sendiri, namun khayalan tersebut memberi nilai tambah bagi kebagian, kesenangan, kedamaian dalam diri setiap manusia, sekalipun itu dalam dunia khayalannya.
Entah dimulai dari mana, sejak kapan, pada waktu apa, aku hanyut dalam dunia khayalan itu. Aku hanya mengenang masa-masa kebahagian, keceriaan, kegembiraan, riang penuh dengan candatawa dan dengan manjaan. Karena saat itu aku berada dalam suasana tersebut, dimana ada suara-suara lembut, kasar, tegas yang memanggil dan memanjakan namaku “Yusuf”. Suasana yang membuatku terbuai dengan alunan seni suara-suara itu, sehingga aku lupa jika semua suara-suara itu tidak kekal dan abadi, aku lupa jika suara itu, akan hilang dengan sendirinya, karena ditelan usia, tenggelam dalam zaman, tersesat dalam kegelapan malam yang tak berbintang, tebakar cahaya matahari dalam suasana.
Saat itu, aku masih berusia 5 tahun, usia dalam perkembangan sikologis, daya ingatan yang belum begitu kuat untuk mengingat memori-memorinya. Usia yang belum memiliki beban dunia yang berat, semua yang dia lakukan, hanya berdasarkan kamauannya, bukan karena kepentingannya, bukan karena siapa-siapa, Karena tidak berada dalam paksaan dalam tindakannya. Di usia itu terpancar cahaya matanya, penuh harapan akan kehidupan, yang bisa mengantarnya seperti orang lain disekelilignya, dia hanya tahu kapan dia makan, beristirahat, jajan dan bersenang-senang.
Jam si penghitung waktu yang tidak pernah lelah, detik menjadi menit, berubah menjadi waktu terus bergantian (1,2,3,4,5-12) dan seterusnya hingga pada hitungan 24 jam. Waktu itu telah mengganti siang hari, menjadi malam hari, dan seterunya bergantian sampai hitungan minggu, bulan dan tahun serta menjelma abad. Dan seterusnya jam it uterus menghitungnya, entah kapan ia akan berhenti untuk menghitung, agar waktu itu akan terhenti, membiarkan siang dan tidak mendatangkan malam. Sehingga semuanya tidak akan pernah berubah.
Perubahan yang tidak disadari, si kecil berusia 5 tahun, masuk sekolah dasar kelas satu, hari-hari itu penuh manjaan dan paksaan. Semua orang disibukannya, semua orang memanjakanya, semua orang member senyuman dan rayuan, agar si kecil itu terbawah dengan suasana yang mereka inginkan. Usia sekolah itu 7 tahun, pada hari pertama masuk kelas, dengan suasana yang berbeda serta nuansa lain, lazimnya si 7 tahun, membuat ibu sibuk dari pagi hingga bersama waktu si jam 10 pagi.
Pagi itu, ibu hanya cukup disibukan dalam waktu 1,5 jam, untuk mempersiapkan segala perangkat yang dibutuhkan si 7 tahun itu, selebihnya waktu itu menjadi tugas bapak, untuk mengantarkannya ke bangku kelas sekolah dasar. Bapak dengan tabah dan penuh kasih saying, menjaganya, menunggunya dengan bekal makanan yang dibuatkan ibunya, agar si 7 tahun itu tidak merasakan kelaparan. Bapak yang semestinya harus mengerjakan tugasnya ke pasar, karena dia seorang pedagang gula merah disetiap pasar. Demi menghidupi nafkah keluarganya yang dia cintai dan kasihi.
Semuanya rela dia tinggalkan, hanya demi si 7 tahun itu bisa seperti orang lain, terpelajar, pintar. Bapak penuh harapan, dimasa akan datang si 7 tahun itu akan berguna bagi setiap manusia dan lingkungannya, dalam waktu senggan, bapak it uterus bercerita tentang sejarah dan masa lalunya. Terus member spirit bagi anak-anaknya yang berjumlah 10 orang, hasil buah cintanya dengan sang istri yang cantik dan baik hati, penuh kelembutan.
Selama seminggu bapak dengan setianya, menjaga tidur anaknya si 7 tahun, memanjakannya, mengantarnya ke sekolah dasar itu. Akhirnya anaknya terbiasa dengan sendirinya, seperti biasanya pagi itu, tetap sibuk, bapak diganti kakak untuk mengantarkannya kesekolah. Bapak pernah berkata, “Anakku, sekolah itu suatu saat akan kamu ingat dan akan kamu kenang selamanya, karena hanya sekolah itu temanmu sampai akhir hayatmu nak,” kata bapak penuh harapan dan kasih sayang.
Waktu terus berlalu, hari beganti malam, suasana bebas itu semakin terasa sempit, semua orang semakin tegas penuh disiplin. Ada yang memarahi karena kedongkolannya, ada yang lembut karena menjadi pembela, ada yang menangis karena rasa bosannya, sebab ulah anak usia 7 tahun semakin jadi dan tidak bisa diatasi. Tak terasa anak kelas satu itu sudah di kelas dua, namun sauna semakin berubah, suara-suara itu semakin berkurang, 6 bulan duduk di bangku kelas dua sekolah dasar, dapur itu tidak semeriah sewaktu anak tersebut dibangku kelas satu.
Suara-suara itu akhirnya hening, karena ibu yang biasanya memanggil penuh manjaan, hanya mampu memandang dengan mata penuh harapan dan kasih sayang, karena ibu terbaring lemah diatas ranjang besi. Ibu sakit, sakitnya parah, ibu yang biasanya membuatkan sarapan pagi, makan siang dan malam, kini terbaring menahan rasa sakitnya. Kini ibu tidak bisa menelan makanan, minuman, bahkan menelan air ludahnya pun ibu tak sanggup lagi, suasan itu benar-benar semain sepi, tanpa suara ibu.
Semua keluarga gelisah, berusaha mengobati penyakit ibu, ke rumah sakit, ke dukun. Agar ibu bisa memanggil lagi, mengisi pagi yang penuh ketegangan, menyiapkan semua yang menjadi kebutuhan anaknya. Ibu itu berusaha bangkit dari penyakit yang dideritanya, ibu memilih tetap tinggal di rumah sakit berbulan-bulan, hanya dengan harapan agar ibu bisa kembali dalam suasan penuh ketegangan di pagi hari, bersama keluarganya. Bapak semakin lemas, tanpa tenaga, karena melihat ibu yang semakin menderita.
Ibu menderita bertahun-tahun, tahun 1990, ibu akhirnya meninggalkan keluarga yang dia cintai dan kasihi (Meninggal Dunia) bersama penyakit yang ibu derita sejak bertahun-tahun. Kini suasana pagi itu, tidak meriah lagi, pagi itu tidak rebut lagi, pagi itu menjadi hening tanpa suara-suara lagi. Bapak menjadi pediam sejak kepergian ibu, badannya semakin kurus, hidupnya semakin berantakan, dagangannya dia tutup, untuk menghilangkan kenagannya bersama ibu selama bertahun-tahun. Setiap pagi bapak hanya berkhayal penuh harapan, bapak hanya duduk diam ditempat biasanya sejak ibu ada, mata bapak memandang penuh kekosongan memandang jauh (bapak sedang berkhayal atau mengenag ?) tanya anak yang sudah mulai tumbuh besar.       
 (Selamat Jalan Ibu, Jasamu akan ku kenang selalu, Perjalananmu akan ku iringi dengan do’aku, aku menyayangi ibu). Bersambung…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar