Tentunya belum hilang
dari ingatan kita, kejadian sehari sebelum Idul Fitri 1433 Hijriah, tepatnya
pada, sabtu (18/8) pekan lalu, Kota Palu dan sekitarnya, dikejutkan dengan
bencana gempa yang berkekuatan, 6,2 SR berpusat di Danau Lindu Kabupaten Sigi. Sebanyak
4.757 jiwa, dan lima diantaranya meninggal dunia, warga dari tiga Kecamatan
yakni, Kecamatan Gumbasa, Kulawi dan Lindu, Kabupaten Sigi menjadi korban
bencana gempa tersebut. Sejak kejadian itu, banyak masyarakat ikut
berpartisipasi, menyalurkan bantuan untuk meringankan beban masyarakat
setempat, sama halnya dengan beberapa langkah pemerintah Propinsi Sulawesi
Tengah dan Kabupaten Sigi sendiri, serta Pemerintah Kota Palu yang turut
membantu, duka mendalam yang dialami warga Sigi.
Bantuan demi bantuan,
silih berganti berdatangan, dengan berbagai jenis barang dan peralatan yang
harus disiapkan, untuk warga di tiga Kecamatan yang menjadi korban keganasan
alam. Ironisnya bukan hanya bantuan barang yang datang di daerah itu, akan
tetapi sepertinya sudah menjadi kebiasaan warga sekitar Kabupaten Sigi dan
sekitarnya, menjadikan daerah bencana sebagai pusat rekreasi keluarga, bagaikan
taman hiburan, yang kemudian menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka, untuk
menjadi bahan pembicaraan pada warga sekitarnya.
Satu bulan lebih sudah, bencana
gempa Kabupaten Sigi, sampai saat ini penanganan korban pasca bencana tersebut,
masih terus dilakukan. Bantuan sosial pun tetap berdatangan, untuk membantu
warga di tiga Kecamatan menjadi korban. Demikian dikatakan, Irwanto salah satu
anggota Posko Induk bantuan korba bencana Kabupaten Sigi, jumat (6/9) di Desa
Tuva Kecamatan Gumbasa.
Menurut dia, dalam
penanganan korban bencana gempa tersebut, pihaknya bersama tim relawan lainnya,
banyak mengalami rintagan dan tantangan, yang berkaitan dengan kesiapan barang,
jalur ditempu saat pendistribusian bantuan, dan beberapa tantangan lainnya,
seperti yang dialaminya beberapa minggu yang lalu, saat dirinya dikritik warga
Desa Tuva, soal pendistribusian bantuan ke Desa lainnya. “Saya dan teman-teman
lainnya, pernah didatangi sejumlah warga, mereka mempertanyakan pendistribusian
bantuan itu ke Desa lain,” kata dia.
Dia juga menjelaskan,
kalau warga Desa Tuva Kecamatan Gumbasa, berpendapat bahwa bantaun yang berada
di posko induk itu, adalah bantaun yang diperuntukan bagi mereka semua, pada
hal posko induk itu didirikan, saat sebelum ada jalan tembusan, ke Desa
lainnya. Akan tetapi saat ini masyarakat, sudah mengerti dan memahami bawha
posko yang didirikan di desa mereka adalah posko induk untu penampungan barang
bantuan bagi warga lain selain mereka.
saat ini baru saja
melakukan, pendistribusian tiga jenis bantuan ke Kecamatan Lindu yaitu beras
tiga ton, tikar plastik sebanyak 29 lembar, dan 10 buah tenda pengungsian.
Namun Pendsitribusian bantuan ke
Kecamatan Lindu, sudah menghabiskan biaya yang tidak sedikit, karena barang
bantuan itu didistribusikan melalui jasa tukang ojek setempat, dengan biaya
sebanyak Rp75 ribu hingga Rp150 ribu dalam satu kali antara, ungkapnya. “Lebih
banyak biaya pendistribusiannya, dari pada nilai barang yang akan dibantukan,”
jelasnya.
Dia juga menambahkan,
bantuan yang datang dari para donatur baik pemerintah, maupun swasta didominasi
barang mie instan, sementara warga setempat, memerlukan bantaun seperti beras,
minyak goreng, minyak tanah, dan tenda pengungsian serta yang lebih dibutuhkan
dan tidak ada stoknya adalah susu ibu hamil dan susu bayi.
Hal itu dibenarkan,
Kepala Puskesmas Kecamatan Kulawi, Yosephin Paelong. Sejak bencana gempa
melanda tiga Kecamatan tersebut, yang hampur tidak ada jenis bantuannya adalah
susu ibu hamil dan bayi, karena sebanyak 49 orang ibu hamil yang menjadi korban
bencana gempa itu, khusus dilima Desa yaitu Desa Namo sebanyak 8 orang, Desa
Boladangko 6 orang, Desa Bolapapu 8 orang, Desa Tangkulowi 10 orang dan Desa
Salua 17 orang. “Diantaranya ada yang melahirkan di tenda pengunsian,”
sebutnya.
Dia juga menjelaskan,
kalau selama ini pihaknya, pernah dimintai data-data dari Dinas Kesehatan
Propinsi Sulteng, dan juga dari pihak Kabupaten Sigi, akan tetapi sampai saat
ini bantuan berupa susu ibu hamil dan bayi tersebut, belum juga datang.
Sementara kondisi ibu hamil dan bahkan ada yang melahirkan tersebut, sungguh
memprihatinkan, karena mereka hanya makan, seadanya dari bantuan mie instan.
Sementara seharusnya yang
idelanya, ibu hamil setelah melahirkan, harus lebih banyak menyerap makanan
yang bergizi, agar kekuatannya setelah melahirkan kembali normal seperti
biasanya, dan sama halnya dengan bayi mereka. Kondisi kesehatan bayi akan
terganggu, jika makanan yang diserap tubuh ibunya, tidak mengandung gizi yang
lebih, sehingga akan berpengaruh pada tingkat pertumbuhan bayi, dan bagi
kesehatannya, ungkapnya.
Dia hanya mengharapkan,
agar bantun bagi ibu hamil seperti susu dan makanan lainnya, dapat segera
didistribusikan untuk memenuhi, tingkat keselamatan ibu dan hamil kedepan. Agar
tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, seperti perkembangan penyakit dan
kematian.
Penyerahan Diri Warga Tuva
Warga Desa Tuva Kecamatan
Gumbasa, saat ini banyak yang berserah diri pada, kekuasaan Tuhan YME, terkait
dengan kondisi alam tempat mereka berpijak, yang kini masih sering mengalami
guncangan gempa yang dimaksud. Tetapi tidak bagi sekelompok masyarakat Desa
Tuva lainnya, yang berjumlah kurang lebih 20 KK mengungsikan diri mereka, ke
lereng hingga puncang gunung Lalere yang berjak sekitar satu kilo meter lebih, dari
Desa tersebut. Mereka mengungsikan diri sejak beredarkanya isu bahwa pada
tanggal 16 nantinya pada bulan ini, akan terjadi lagi gempa yang lebih besar
dan berkekuatan lebih dari sebelumnya.
Asri Mustakim (50) warga
DesaTuva, yang baru turun dari lereng gurung Lalere, untuk meminta persiapan
bantuan, mengatakan. Dirinya dan keluarganya, terpaksa harus mengungsi gunung,
karena takut dengan ancaman bencana susulan seperti yang didengar dari
orang-orang. “Saya dan keluarga sudah dua minggu mengungsikan diri ke puncak
gunung Lalere,” kata dia.
Lain lagi dengan Hatija
Calikoro (28) ibu dua anak, juga warga Desa Tuva, yang memilih tetap bertahan
di Desa itu. Menurut dia, dengan bertahan di Desa lebih mudah mendapatkan
bantuan penyelamatan, jika benar-benar terjadi bencana susulan seperti yang
diisukan. “Kalau saya tidak masalah, tapi ibu saya kasian dia sudah tua,
bagaimana kalau memang benar terjadi,” kata dia dengan nada sedih.
Nama ibu kandung dari
Hatija Calikoro, Indo Tiha (68) hingga kini masih mengalami trauma, karena
setiap mendengarkan isu gempa dan banjir dirinya gemetar dan ketakutan. Indo
Tiha, kelahiran Kelurahan Duyu itu, enggan meninggalkan desa yang sudah
menghidupinya selama 50 tahun.
Lain lagi dengan Ali Guva
(38), juga warga Tuva, dia memanfaatkan situasi itu dengan berprofesi sebagai
tukang ojek, dia mengaku setiap pendistribusian bantuan ke Kecamatan Lindu,
dirinya mendapatkan keuntungan sebanyak Rp200 hingga Rp350 ribu. Bukan hanya
sekedar mengantar bantuan, akan tetapi dirinya juga membeli ikan mujair dari
danau lindu, untuk dijual di masyarakat berada di lemba Palu. “Saya kalau sudah
turun, saya uang dari ojek, saya belikan ikan mujair, lumayan harganya disana,
hanya tiga sampai empat ribu per enam ekornya,” katanya.
Dia juga mengaku, tidak
layak mengambil ke untungan dalam situasi seperti itu, akan tetapi baginya,
membawa bantuan dengan muatan lebih dari kapasitanya, dengan resiko tinggi,
karena menempu jalur yang masih sangat rawan dengan kecelakaan, merupakan hal
yang wajar-wajar saja.
Demikian reportase ini,
yang menggambarkan kondisi terakhir, pasca gempa Kabupaten Sigi selama ini,
warga ditiga Kecamatan, masih terus membutuhkan uluran tangan masyarakat dan
khususnya pemerintah. Saat ini Sulteng harus bercermin dari bencana yang melanda
daerahnya, karena satu bulan terakhir bencana silih berganti, yang
terakhir bencana itu terjadi di Kabupaten
Parigimautong, yang memutuskan jembatan didaerah itu dan Kota Palu yang juga menghanyutkan ratusan rumah. Ancaman akan bencana alam di Sulawesi Tengah, seakan menyampaikan
pesan penting bagi masyarakat, utamanya bagi pemerintah di daerah ini, untuk
selalu mengigatkan warganya selalu meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan
mereka.
Dengan mempersiapkan seluruh elemen terkait
harus lebih intensif lagi melakukan sosialisasi dan pengenalan kepada
masyarakat agar bisa menekan korban dalam setiap kali terjadinya bencana di
Sulteng ini. Sebab soal bencana adalah tanggung jawab bersama instansi
pemerintah yang ada baik daerah Kabupaten/Kota maupun Propinsi sendiri, lebih
lagi yang berkaitan dengan kebencanaan seperti BPBD, Bakornas, Satganas dan
beberapa lembaga resmi lainnya.