Visi Pembangunan Pemerintah Kota Palu Yang Terabaikan
Visi dan Misi Pemerintah Kota
Palu, yang akan menjadikan Kota Palu sebagai Kota Pusat Perdagangan Kakao, yang
akan dicapai secara sempurna pada tahun 2025 mendatang, hal itu berdasarkan
rencana program jangka panjang (RPJP) Pemerintahan Kota Palu. Visi Pemerintah
Kota Palu tersebut, terkesan terabaikan, sebab sejak diresmikannya Kota Palu sebagai pusat substation penelitian
dan pengembangan kakao, pada tahun 2011 kemarin, oleh Direktur Jenderal
Perkebunan, Kementerian Republik Indonesia, yang diwakili Sekretaris Jenderal
Perkebunan, Mukti Sarjono, sampai saat ini belum ada gerakan Pemerintah Kota
Palu, untuk melakukan pegembangan gedung yang telah diresmikan tersebut, paling
tidak melakukan upaya sosialisasi ketingkat kalangan bawah.
Dalam sambutannya Mukti Sarjono
mengatakan, dipilihnya Sulawesi Tengah sebagai salah satu daerah central kakao
di indonesia, merupakan apresiasi positif dari pihak kementerian, sebab itu salah
satu program kementerian untuk berupaya, meningkatkan kualitas kakao yang akan
dihasilkan. Karena Sulawesi Tengah adalah salah satu daerah penghasil kakao
terbesar se Indonesia, namun selama ini perhatian pengembangan kakao tersebut,
masih kurang meyentuh daerah-daerah penghasil kakao itu sendiri. Sehingga kebijakan
dalam program tersebut, terpilihnya Kota Palu sebagai Ibu Kota propinsi
Sulawesi Tengah, adalah salah satu jawaban pemerintah pusat, atas keiginan
Pemerintah Kota Palu, yang akan menjadikan Kota Palu sebagai Pusat Perdagangan
Kakao.
Sementara pada tahun 2010, devisa
negara Indonesia sebanyak US.$. 1,6 miliar atau sebanyak Rp.15 triliun, dari
komuditas kakao, sehingga kakao menjadi komuditas unggulan negara saat ini, untuk
itu pemerintah berupaya medorong agrebisnis dan agro industri, pengembangan
wilayah. Saat ini luas area kakao indonesia mecapai 1,6 juta hektar, dan hasil
produksinya sebanyak 844 ribu ton. Yang melibatkan rakyat petni kakao sebanyak
1,5 juta KK. Dengan demikain pencapaian itu, memposisikan Indonesia sebagai
Negara pemasok nomor dua kakao setelah Negara Afrika, Pengembangan Kakao adalah
upaya untuk menjadikan Indonesia nomor satu di dunia.
Sedangkan posisi Sulawesi Tengah,
dengan hasil produksi kakao, diakhir bulan oktober pada tahun 2011 kemarin, total
ekspor 126 ribu ton. Untuk Negara dengan jumlah ekspornya kurang lebih sebesar
600 ribu ton, Sulteng adalah pemasuk terbesar bagi Indonesia. Jumlah tersebut
adalah yang terkecil jika dibandingkan dengan hasil kakao Sulteng yang selama
ini, banyak yang dijual langsung ke negara tetanga seperti Malaysia, Singapur,
dan China, yang dilakukan oleh para pengusaha lokal.
Fenomena itu tidak bisa
dimunafikan, karena terkadang permainan harga kakao di negara Indonesia
sendiri, sering mengalami anjlok (naik turun) yang tidak memberikan kepastian
harga, disinilah peran pemerintah harus benar-benar dapat mengawal harga kakao
tersebut. Agar tdak menjadikan petani kakao, semakin kendor semangatnya dalam
membudidayakan tanaman kakao tersebut, sebab selama ini di Sulteng, petani
kakao tengah mengalami kerugian yang cukup tinggi, karena tanaman mereka
terserang hama tanaman, seperti pengerek batang, yang mengakibatkan matinya
tanaman, hama buah yang menyebabkan buah jadi mati (menghitam). Permainan para
pengusaha kakao lokal, yang juga menjadikan petani kakao sebagai, sasaran untuk
mengambil keuntungan, tanpa memikirkan nasib petani kakao, dengan harga dalam
negeri yang anjlok, dan menjualnya melalui negara tetangga dengan harga dua
hingga tiga kali lipat.
Alhamdulillah.....!!! Pemerintah
Pusat sudah mulai sadar, ketika melihat perkembangan kakao yang sudah semakin
berkurang, dan kualitasnyapun sudah semakin merosot, yang dikarenakan kebijakan
kurang tepat sasaran atas dijadikannya daerah Batam sebagai kawasan industri kakao,
pada hal daerah tersebut sama sekali tidak memiliki lahan kakao sedikitpun. Kebijakan
itu atas dasar rekomendasi LP3i, yang hanya berdasarkan atas keinginan
kepentigan individual, bukan atas dasar patut dan tidaknya, wajar dan tidaknya
pembangunan industri tersebut.
“Indonesia Mubazir Sarjana Tak Bersekolah”